Kamis, 19 Maret 2009

NJELIMET AMAT

Dalam rangka penyusunan Lakip Provinsi NTB 2008, terdapat beberapa hal yeng perlu diperhatiakan terutama oleh Tim Penyusun yang dikoordinasikan oleh Biro Organisasi, Setda Provinsi NTB dengan aistensi pendampingan BPKP. Kami kemukakan beberapa hal yang perlu dicermati dan diperhatikan terutma pada pada bagian entry data al:

  1. Dalam penerimaan data softcopy dari masing-masing SKPD, selama format yang dipersyaratkan sudah benar, lantas tidak harus persis seperti yang dibuat pada Biro Organisasi. Masa iya harus persis, kolom dan baris yang dibuat oleh Biro Ortal mutlak harus diikuti SKPD nggak boleh berimprovisasi. Yang benar aja?? Itu artinya mau enaknya sendiri dan terima matang.
  2. Entry data harus lebih banyak belajar dan bersikap. Sebagai seorang operator ... katakanlah sang jawara di lingkungan Setda sakmestinya anda harus bisa mengkonversikan dengan jalan yang jauh lebih simple ketimbang harus memaksakan kehendak anda agar memudahkan entry data SKPD. Yang kreatif donk...? percuma anda diberikan tunjangan kelebihan beban kerja, kalo Cuma mengkonversi anda nggak bisa. Belajar yang banyak yaa? Jangan Cuma main game bola didepan monitor.
  3. Surat permintaan data yang bertubi-tubi dengan tema dari itu ke itu juga tidak terkoordinasikan dengan baik, terutama internal Setda. Satu format data bisa diminta dalam waktu bersamaan, antara Biro Ortal, Biro Adm Pem dan Biro Keuangan. Apa nggak ada jalinan Sistem koordinasi yang terintegrasi dalam satu atap dibawah bendera Setda?

Untuk Sementara itu saja, saran dari kami untuk lebih mematangkan sistem kinerja yang ada di biro yang seolah menjadi penghambat percepatan penyusunan Lakip Provinsi NTB 2008.

Terimakasih untuk mau ndengerin saran dan kritik. Kalo nggak .... ya terserah Maudi aja.....

Rabu, 18 Maret 2009

RANCANGAN PERUNDANGAN TATA RUANG NTB

Tunggu khabar berikut

Kalo udah begini, masukkan saja artikelnya ... khan gamoang

Selasa, 17 Maret 2009

EVALUASI KINERJA PENYELENGGARAAN PEMDA

Guna mewujudkan pelaksanaan otonomi daerah yang sejalan dengan upaya menciptakan pemerintahan yang bersih, bertanggungjawab serta mampu menjawab tuntutan perubahan secara efektif dan efisien sesuai prinsip tata pemerintahan yang baik, Kepala Daerah wajib melaporkan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Laporan dimaksud dalam bentuk LPPD, LKPJ dan Informasi LPPD. Bagi Pemerintah Pusat, LPPD dapat dijadikan salah satu bahan evaluasi untuk keperluan pembinaan terhadap pemerintah daerah.

Salah satu Tujuannya adalah untuk mengetahui keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam memanfaatkan hak yang diperoleh daerah dengan capaian keluaran dan hasil yang telah direncanakan.

Ada pun pedoman penyusunan LPPD dan Pedoman Evaluasi LPPD tersebut di atas telah diatur dalam PP 3 tahun 2007 dan PP 6 tahun 2008. Kedua PP tersebut mengamanatkan perlunya aturan lebih lanjut khususnya mengenai indikator kinerja kunci (IKK) untuk menilai aspek pada tataran pengambil kebijakan daerah dan tataran pelaksana kebijakan daerah, di antaranya "Petunjuk Teknis Penyusunan Suplemen LPPD Tahun 2007 " yang diharapkan dapat membantu pemerintah daerah dalam menyusun suplemen LPPD tahun 2007 dan Pemerintah (Tim Evaluasi) dalam melakukan Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (EKPPD) provinsi, kabupaten/kota tahun 2007.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa pedoman penyusunan LPPD dan pedoman EPPD tersebut di atas telah diatur dengan PP No 3 tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kepada pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kepada masyarakat; dan PP no 6 tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;. Peraturan pemerintah tersebut mengamanatkan perlunya aturan lebih lanjut khususnya mengenai indikator kinerja kunci untuk menilai aspek pada tataran pengambil kebijakan daerah dan tataran pelaksana kebijakan daerah.

Tahap Persiapan. Sesuai ketentuan, di tingkat Pusat, Tim Evaluasi LPPD diketuai Mendagri, dengan anggota di antaranya Menpan, Menkeu, Menkumham, Mensesneg, Meneg PPN/Kepala Bappenas, BKN, Kepala BPKP, BPS dan LAN. Di tingkat provinsi, Tim Evaluasi LPPD diketuai oleh Sekda Provinsi, dengan sekretaris Kepala Bawasprop/Inspektur Propvinsi, dan anggota-anggota: Kepala Bappeda, Kepala Perwakilan BPKP dan Kepala BPS Propinsi. Pada tataran kabupaten/kota, sesuai ketentuann di atas, dibentuk Tim Penilai SKPD, yang diketuai oleh Sekdakab/kota, dengan sekretaris Kepala Bawaskab/kota dan anggota-anggota: Kepala Bappeda, Kepala BPS Kabupaten/Kota dan Kepala SKPD terkait.

Sesuai dengan Pasal 29 PP 6 tahun 2008 tersebut menyatakan bahwa Tim Nasional EPPD menyusun IKK untuk menilai aspek pada tataran pengambil kebijakan daerah; dan indikator kinerja kunci untuk menilai aspek pada tataran pelaksana kebijakan daerah untuk masing-masing urusan pemerintahan.

IKK itu disusun berdasarkan aspek penilaian dengan mempertimbangkan: kesesuaian kebijakan daerah dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; dan kesesuaian kebijakan daerah dengan kepentingan umum serta disusun berdasarkan usulan indikator kinerja kunci yang diterima dari menteri/pimpinan lembaga pemerintah nondepartemen.

Namum, sampai dengan saat penyusunan petunjuk teknis tersebut, penetapan Tim Nasional EPPD dimaksud masih dalam peroses penetapan sehingga penyusunan indikator kinerja kunci untuk menilai aspek pada tataran pengambil kebijakan daerah; dan IKK untuk menilai aspek pada tataran pelaksana kebijakan daerah untuk masing-masing urusan pemerintahan belum dapat dilaksanakan. Begitu juga di tingkat provinsi, kabupaten dan kota, Tim dimaksud belum terbentuk.

Departemen Dalam Negri cq Dirjen Otda, telah berupaya membangun indikator kunci dimaksud, dengan mengirimkan surat (Februari 2008) kepada setiap kementerian/LPND yang terkait dengan urusan pemerintahan yang memerlukan IKK untuk memberikan indikator kinerja kunci urusan pemerintahan sesuai dengan kewenangannya. Namun, sampai dengan penyusunan petunjuk teknis tersebut tidak satu pun kementerian/LPND yang menyampaikan IKK yang diperlukan.

Departemen Dalam Negri cq Dirjen Otda bekerja sama dengan instansi terkait yaitu Departemen Keuangan, Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, Menteri Negara/Badan Perencanaan Nasional, BPKP, LAN, BPS dan Pemerintah Daerah (Provinsi, Kabupaten/Kota) serta CIDA dan GTZ telah menyusun "Petunjuk Teknis Penyusunan Suplemen LPPD Tahun 2007" yang diharapkan dapat membantu pemerintah daerah dalam menyusun suplemen LPPD tahun 2007 dan Pemerintah (Tim Evaluasi) dalam melakukan evaluasi atas LPPD pemerintah provinsi, kabupaten/kota tahun 2007.

Tiga Kelompok IKK. IKK terbagi dalam tiga kelompok, yaitu tataran pengambil kebijakan, tataran pelaksana kebijakan dan aspek standar pelayanan minimal (SPM). Indikator kinerja kunci pada tataran pengambilkebijakan meliputi 13 aspek penilaian sebagai mana diamanatkan dalam Pasal 18 PP 6 Tahun 2008 yang ditujukan kepada seluruh LPPD pemerintah daerah yaitu Pemerintah Propinsi, Kabupaten dan Kota.

IKK pada tataran pelaksana kebijakan meliputi sembilan aspek penilaian sebagai mana diamanatkan dalam Pasal 19 PP 6 Tahun 2008 yang ditujukan kepada seluruh LPPD pemerintah daerah, yaitu Pemerintah Propinsi, Kabupaten dan Kota. Ada pun uraian aspek penilaian tersebut adalah sebagai berikut: kebijakan teknis penyelenggaraan urusan pemerintahan; ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan; tingkat capaian SPM; penataan kelembagaan daerah; pengelolaan kepegawaian daerah; perencanaan pembangunan daerah; pengelolaan keuangan daerah; pengelolaan barang milik daerah; dan pemberian fasilitasi terhadap partisipasi masyarakat.

Indikator kinerja SPM disusun berdasarkan urusan wajib dan urusan pilihan dan ditujukan kepada seluruh LPPD pemerintah daerah yaitu Pemerintah Propinsi, Kabupaten dan Kota. Ada pun urusan wajib dan urusan pilhan yang ditetapkan SPMnya. Sebagaimana diuraikan sebelumnya bahwa direncanakan akan mengumumkan hasil evaluasi LPPD tahun 2007 pada 29 April 2009. Oleh karena itu, Tim sudah harus menyampaian laporan dilakukan paling lambat minggu ketiga September 2008.

Sehubungan dengan belum tersusunnya IKK atas aspek-aspek penilaian atas kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagaimana diamanatkan dalam PP 6 tahun 2008, mengakibatkan evaluasi kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah (EKPPD) melalui LPPD tahun 2007 belum dapat dilakukan.

Oleh sebab itu, dalam rangka EKPPD terhadap LPPD tahun 2007 Depdagri, melalui SE tanggal Agustus 2007 telah menyarankan kepada Gubernur, Bupati dan Walikota untuk mengambil langkah-langkah. Pertama, bagi pemerintah daerah yang telah menyusun LPPD tahun 2007 berdasarkan format LPPD sebagaimana diatur dalam PP 3 Tahun 2007, membuat suplemen LPPD tahun 2007 sesuai dengan petunjuk teknis penyusunan suplemen LPPD Tahun 2007.

Kedua, bagi pemerintah daerah yang telah menyusun LPPD tahun 2007 namun belum berdasarkan format LPPD sebagaimana diatur dalam PP 3 Tahun 2007 serta bagi pemerintah daerah yang belum membuat LPPD tahun 2007, menyusun LPPD tahun 2007 sesuai dengan format LPPD dalam petunjuk teknis penyusunan suplemen LPPD Tahun 2007

Ketiga, mengingat sangat mendesak dan pentingnya LPPD Tahun 2007 sebagai dasar Pemerintah dalam EKPPD yang hasilnya bermanfaat dalam rangka pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah serta mengisi Hari Otonomi Daerah yang akan di selenggarakan pada tanggal 25 April 2009, diharapkan Pemda meningkatkan kapasitas dalam melakukan evaluasi mandiri (self-assesment) dalam rangka penyusunan LPPD yang akuntabel.

Dan keempat, untuk tercapainya tujuan peningkatan kapasitas sebagaimana dimaksud pada butir ketiga, diharapkan Pemda dapat melakukan kerja sama dengan Perwakilan BPKP setempat dalam rangka self-assesment dan membantu tugas Gubernur selaku wakil Pemerintah melakukan evaluasi terhadap LPPD Kabupaten/Kota.

Sumber:berbagai media

Senin, 16 Maret 2009

Pencerahan atas Renstra SKPD 2009-2013

Dengan visi dan misi pasangan terpilih pada Pilkada 2008 lalu, pasangan KH. Zainul Majdi, MA dan Ir. H. Badrul Munir, MM yang mengusung visi mewujudkan masyarakat NTB yang beriman dan berdaya saing, maka kedepan seluruh SKPD merubah haluan menyesuaikan visi dan misi agar sejalan dengan visi gubernur NTB peeriode 2009-2013.
Walhasil, dibentuklah tim penyusunan Renstra SKPD 2009-2013 pada Distamben Prov. NTB, dengan mengusung visi "Menjadikan Distamben sebagai pengelola ESDM yang utama di Nusa Tenggara". Penyusunan Kali ini, melibatkan semua unit teknis, non teknis dan balai dilingkungan dinas pertambangan dengan menghadirkan narasumber yang kompten dari WI Provinsi NTB, Bapak Darmansyah. Walaupun dalam beberapa kali rapat pembahasan berjalan alot, karena penguasaan esensi renstra belum sepenuhnya diketahui peserta, setidaknya dengan kehadiran beliau sebagai narasumber sekaligus pengarah, cukup membuka wawasan dan paradigma yang terkungkung selama ini. Mengapa...? Karena baru menginjak pada misi, sudah tampak ego sektor yang ditonjolkan, pendeknya 'ini lho gue punya peran'. Dengan pencerahan yang ada, setidaknya disadari bahwa dalam melangkah mengaktualisasikan renstara kedepan dimulai dari visi, misi (nilai), tujuan, sasaran dan kebijakan merupakan pola kebersamaan dalam memperkuat integritas dan eksistensi dinas ke masa depan, ketika telah memasuki Program dan kegiatan silakan cari jalan masing-masing sesuai koridor untuk menggapai sasaran menuju tujuan yang sama sehingga visi dan misi dapat terwujud dan teraktualisasi.

Kehadiran Kepala Dinas, selaku nakhoda dinas sangatlah diharapkan, karena visi yang diusung merupakan produk Kepala SKPD yang secara normatif sebuah harga mati yang tidak bisa didemokratisasikan. Karena beliaulah yang menjadi juru mudi yang mengarahkan kemana kapal akan dibawa berlayar. Kapal bisa saja terbawa arus yang tak sebanding dengan kekuatan mesinnya, maka diperlukan beberapa Mualim dan juru mesin untuk membantu mengoptimalakan kinerja mesin kapal.
Manakala kapal terperangkap badai di tengah lautan yang luas, sementara para mualim dan seluruh ABK akan berusaha menyelamatkan kapal untuk terhindar dari bahaya. Bila usaha tersebut belum memadai, maka cobalah untuk berpandu pada kompas guna menemukan jalur yang lebih aman, minimal terkena imbas namun tidak fatal. Tetapi, bila sang nakhoda membenturkan kapal ke gunung es, maka pecahlah sang Titanic, maka para penumpang kapal akan berusaha menyelamatkan diri masing-masing.
Syukur-syukur ada kapal penyelamat yang melintas. Yang bisa berenang patut bersyukur, tapi kalo yang nggak bisa ya.. wassalam. Demikian sedikit tamsil yang bisa saya lontarkan, sebagai sebuah pengantar atas penyusunan Dokumen Rencanan Strategis Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi NTB 2009-2013, dengan menyimak tragedi Titanic sebagai sebuah perumpamaan.
[Pro Admin]


Source: www.Starway.com

Jumat, 13 Maret 2009

DISCIPLINE DISTOLERANCE

Sejak Maret 2009, masalah apel pagi dan apel siang mencuat lagi ke permukaan. Kinerja pegawai mulai di re-evaluasi untuk mengaktualisasi kelayakan mendapatkan tunjangan Kinerja daerah (TKD). Bagi Dinas Pertambangan dan Energi diputuskan untuk masuk hari kerja dan mengikuti apel pagi tepat pukul 07.00 wita dan absen di tempat tanpa toleransi sama sekali.

Bagi karyawan yang rumahnya dipinggiran kota kontan harus pontang-panting mengejar apel pagi agar TKD tidak dipotong. Tak ayal lagi, banyak juga pegawai yang menerobos trafict light dan bahkan diintai maut di jalan raya, karena kendaraan over populasi pada saat jam demikian. Beberapa kecelakaan lalulintas terjadi juga pada beberapa pegawai dinas pertambangan karena harus mengejar apel pagi.

Apakah tidak perlu direviu lagi....? sebab beberapa instansi Pemprov lainnya memiliki tolerasi juga atas absen kahadiran ini. Tetangga kita di barat, timur dan utara menerapkan apel pagi dimulai jam 07.15 Wita absen di tempat, lembar absen baru dinaikkan ke TU atau keuangan jam 07.30. Jadi toleransi masih diberlakukan, tentu ini merupakan kearifan lokal yang perlu dipertimbangkan.

Konsekwensi dari keterlambatan tidak memiliki kriteria yang jelas, tidak apel pagi berarti dianggap mangkir 1 hari, dan TKD dipotong sekian persen. Bagaimana dengan Shift 7-0-2 ...? artinya masuk persis jam 07.00 namun tidak satupun indikator kegiatan yang bisa dihasilkan dan ketika jam 14.00 tiba turut juga absen. Sesungguhnya apa yang kita kejar....? Ask your selves?

Dengan kearifan lokal yang telah dibuat kaku dan tidak elastis, maka kedepan jangan berharap semua kegiatan baik perintah dari atasan maupun jalinan mitra keluar harus dibatasi pula sampai jam 14.00 dan tidak ada toleransi. Masalah keterlambatan untuk menindak lanjuti permintaan data ataupun laporan akan dijadikan nomor enam belas ... sudah pasti ini merupakan toleransi juga.

Bagaiman pula dengan pegawai yang memiliki beban kerja lebih, semisal di bagian keuangan yang harus mengurus tetek bengek permintaan penyelesaian keuangan dan harus bekerja over time ..... ahh tetap aja tidak ada toleransi, yang tidak apel berarti terlambat. Kalo dah terlambat yaa dianggap mangkir. Jadi .... rajin tidak rajin sama aja. Rajin tidak rajin dapatnya sama.

Rajin dalam arti semua target dan tolok ukur kegiatan dapat diselesaikan meskipun harus bekerja over time. Jadi di Dinas kita hanya menggaris bawahi Punishment saja .... dan melek sebelah mata akan reward yang pantas. Tull nggak....?!

Percuma aja udah disiplin namun target dan sasaran kegiatan tidak tercapai, akhirnya teguran dari atas sampailah dihadapan. You mesti gini lagi gitu lagi ... ayo rekan-rekan berpacu dalam kinerja?

[Cuah Nekade]

Senin, 02 Maret 2009

NASKAH AKADEMIK RAPERDA PENGELOLAAN AIRTANAH

NASKAH AKADEMIK


 

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

NOMOR    : TAHUN 2009


 

TENTANG

PENGELOLAAN AIR TANAH

DI PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT


 


 

  1. LATAR BELAKANG

Air tanah mempunyai peran yang penting bagi kehidupan dan penghidupan masyarakat, karena fungsinya sebagai salah satu kebutuhan pokok hidup sehari-hari. Oleh karena itu air tanah harus dikelola secara bijaksana, menyeluruh, terpadu, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan, sehingga selalu tersedia dalam jumlah dan kualitas yang memadai untuk seluruh masyarakat. Peningkatan akses terhadap air bersih adalah penting bagi pembangunan berkelanjutan serta pengentasan kemiskinan dan kelaparan.

Salah satu
agenda deklarasi "Millenium Development Goals (MDG'S)", yakni agenda No. 7 adalah "Ensure Environmental Sustainability", yaitu diantaranya meningkatkan pelayanan agar pada tahun 2015 dapat mengurangi separuh proporsi penduduk yang saat ini belum memiliki akses air minum yang berkelanjutan.

Air tanah tersimpan dalam lapisan tanah mengandung air yang terbentuk melalui daur hidrologi. Keberadaan air tanah di Indonesia cukup melimpah, akan tetapi tidak di setiap tempat terdapat air tanah, tergantung pada sifat fisik tanah dan batuan, terutama kesarangan dan kelulusannya, serta curah hujan.

Pengambilan air tanah dalam rangka memenuhi kebutuhan air minum, rumah tangga maupun pembangunan akan semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya laju pertumbuhan penduduk dan kegiatan pembangunan. Hal ini berpotensi menimbulkan berbagai masalah yang dapat merugikan apabila tidak dikelola secara bijaksana.

Pengambilan air tanah yang melampaui kemampuan pengimbuhannya akan mengakibatkan krisis air tanah dan gejala kemerosotan lingkungan lainnya seperti penurunan muka air tanah, penurunan permukaan tanah serta penyusupan air laut pada daerah pantai. Apabila kondisi tersebut tidak segera diatasi akan menimbulkan rangkaian kerugian lain yang lebih besar, misalnya kelangkaan air, terhentinya kegiatan industri secara tiba-tiba, kerusakan bangunan dan meluasnya daerah banjir.

Karena berada di bawah tanah, maka kerusakan air tanah tidak akan langsung terlihat. Kondisi dan lingkungan air tanah yang rusak sangat sulit untuk direhabilitasi atau dipulihkan. Walaupun secara teknis air tanah termasuk sumberdaya alam yang dapat diperbaharui, pemulihan kerusakannya memerlukan waktu yang sangat lama, sedangkan air merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi setiap saat. Dengan sifat-sifat dan karakter seperti ini, maka pengelolaan air tanah memerlukan pengaturan yang bersifat khusus didasarkan pada kaidah-kaidah geologi dan karakteristik air tanah meliputi keterdapatan, ketersediaan, penyebaran, dan kualitas air tanah serta lingkungan keberadaannya.

Cekungan air tanah tidak selalu sama dengan batas administrasi, bahkan suatu wilayah cekungan air tanah dapat meliputi lebih dari satu daerah administrasi Kabupaten/Kota, sehingga pengelolaan air tanah pada satu cekungan harus dilakukan secara terpadu yaitu mencakup kawasan pengimbuhan, pengaliran dan pengambilan. Oleh karena itu pengaturannya dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi bersama-sama pemerintah Kabupaten/Kota agar terwujud kebijakan yang utuh dan terpadu dalam satu wilayah cekungan air tanah.

Kegiatan utama dalam pengelolaan air tanah yang mencakup inventarisasi, konservasi dan pendayagunaan air tanah perlu diarahkan untuk mewujudkan kelestarian, kesinambungan ketersediaan serta kemanfaatan air tanah yang berkelanjutan bagi sebesar-besar kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.


 

  1. DASAR PERATURAN

    a. Undang – Undang Dasar 1945

    Air tanah merupakan Karunia Tuhan Yang Maha Kuasa yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu menjadi kewajiban kita bersama untuk memanfaatkan sumberdaya alam tersebut secara bijaksana bagi sebesar besar kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 Ayat (3).


 

b. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air telah mengatur landasan pokok dalam pengelolaan air tanah. Dalam Pasal 12 Undang-Undang tersebut dinyatakan bahwa pengelolaan air tanah berdasarkan cekungan air tanah diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. Berdasarkan ketentuan Pasal 15 huruf g Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, pengelolaan air tanah pada cekungan air tanah lintas Kabupaten / Kota merupakan kewenangan Gubernur yang perlu diatur.

Cekungan Air Tanah adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh batas hidrogeologis, tempat semua kejadian hidrogeologis seperti proses pengimbuhan, pengaliran, dan pelepasan air tanah berlangsung.

Cekungan air tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (4) Undang Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air meliputi:

  • cekungan air tanah dalam satu kabupaten / kota;
  • cekungan air tanah lintas kabupaten / kota;
  • cekungan air tanah lintas provinsi; dan
  • cekungan air tanah lintas negara;

Cekungan air tanah merupakan dasar penentuan wewenang dan tanggung jawab pengelolaan air tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf (g), Pasal 15 huruf (g) dan Pasal 16 huruf (f) Undang Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.

Karena wilayah cekungan air tanah dapat meliputi lebih dari satu daerah administrasi Kabupaten/Kota, maka pengelolaan air tanah pada satu cekungan harus dilakukan secara terpadu yang pengaturannya dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi bersama-sama pemerintah Kabupaten/Kota agar terwujud kebijakan yang utuh dan terpadu.


 

c. Peraturan Pemerintah No 43 Tahun 2008 tentang Air Tanah

Mengatur tentang Kebijakan Teknis Pengelolaan Air Tanah yang terpadu sebagai bagian dari Kebijakan Sumber Daya Air. Kebijakan teknis tersebut didasarkan pada Cekungan Air Tanah yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

Kebijakan Teknis ditujukan sebagai arahan dalam penyelenggaraan Konservasi air tanah, Pendayagunaan air tanah, Pengendalian daya rusak air tanah, Sistem informasi air tanah dengan memperhatikan kondisi air tanah setempat.

Kebijakan teknis tersebut dituangkan dalam Strategi Pengelolaan Air Tanah sebagai bagian dari Pola Pengelolaan Sumber Daya Air.

Strategi Pengelolaan kemudian dijabarkan dalam Rencana Pengelolaan Air Tanah sebagai bagian dari Rencana Pengelolaan Sumber Daya Air, baik air tanah, air permukaan, air hujan dan air laut.


 

d. Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No 1451 K/10/MEM/2000 tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Tugas Pemerintahan di Bidang Pengelolaan Air Bawah Tanah.

Selama peraturan pelaksanaan PP 43 Tahun 2008 belum diundangkan, maka pedoman teknis mengacu pada Kepmen No 1451 Tahun 2000.

Kepmen ini mengatur tentang pengelolaan air bawah tanah, termasuk mengenai cekungan air bawah tanah yang melintasi batas wilayah. Pada Pasal 3 ayat (2) menyatakan bahwa Pengelolaan cekungan air bawah tanah yang melintasi wilayah Provinsi atau Kabupaten/Kota ditetapkan oleh masing-masing Gubernur atau Bupati/Walikota berdasarkan kesepakatan Bupati/Walikota yang bersangkutan dengan dukungan koordinasi dan fasilitasi Gubernur.

Keputusan ini juga memuat kegiatan dan pelaksanaan pengelolaan air bawah tanah.


 


 

  1. KONDISI CEKUNGAN AIR TANAH DI NUSA TENGGARA BARAT

    Di Provinsi Nusa Tenggara Barat terdapat 9 (sembilan) cekungan air tanah (CAT) yaitu :

No 

Nama CAT 

Luas (km2)

Potensi (juta m3/tahun)

   

Air tanah bebas 

Air tanah tertekan 

1 

Mataram – Selong

2366

662

8

2 

Tanjung – Sambelia

1124

224

22

3 

Sumbawa besar 

1404 

183 

25 

4 

Empang 

345 

35 

3 

5 

Pekat 

977 

220 

10 

6 

Sanggar – Kilo

1419 

320 

14

7 

Dompu 

375 

63 

6 

8 

Bima 

1102 

165 

16 

9 

Tawali – Sape

363 

36 

3 


 

Dari 9 (sembilan) CAT yang ada di Provinsi NTB, 6 (enam) CAT memiliki batas lintas Kabupaten/Kota, yaitu CAT Mataram – Selong, Tanjung – Sambelia, Empang, Pekat, Sanggar – Kilo dan Bima, sehingga pengelolaanya perlu dilakukan bersama – sama oleh pemerintah Provinsi dengan Kabupaten/Kota yang terkait.

Sampai tahun 2007 telah dilakukan penyelidikan potensi air tanah pada CAT Tanjung – Sambelia, Mataram – Selong, Sumbawa Besar, Empang, Dompu dan Bima. Penyelidikan tersebut menghasilkan zona pengendalian pengambilan air tanah, termasuk juga batas-batas daerah resapan.

Wilayah yang terletak di luar cekungan air tanah merupakan daerah dengan kandungan air tanah yang potensialnya terbatas dan penyelenggaraan pengelolaan air tanah di wilayah tersebut sama dengan ketentuan yang diterapkan pada cekungan air tanah.

Untuk Pulau Lombok, wilayah di luar cekungan air tanah terdapat di bagian selatan yang umumnya merupakan daerah dengan potensi air tanah yang terbatas. Sedangkan di Pulau Sumbawa, wilayah yang belum termasuk ke dalam cekungan air tanah mencakup wilayah Kabupaten Sumbawa Barat, bagian tengah dan selatan Kabupaten Sumbawa, Dompu dan Bima.


 


 

  1. SISTEMATIKA RAPERDA

Rancangan Peraturan Daerah ini terdiri dari 10 Bab dan 23 pasal, dengan sistematika Bab sebagai berikut :

Bab I     Ketentuan Umum

Berisi pengertian dan istilah-istilah yang dipergunakan dalam Rancangan Perda Pengelolaan Air Tanah di NTB.

Bab II    Ruang Lingkup

Berisi batasan berlakunya Rancangan Perda serta cakupan kegiatan pengelolaan.

Bab III     Kewenangan

Memuat kewenangan yang dilaksanakan oleh Gubernur dan pelaksanaannya.

Bab IV    Pengelolaan

Mencakup ketentuan mengenai kegiatan inventarisasi, pendayagunaan, pemanfaatan dan peruntukan, konservasi dan pemantauan air tanah.

Bab V    Perizinan dan Rekomendasi Teknis

Berisi hubungan antara kewenangan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten / Kota dalam hal pemberian izin pemanfaatan air tanah, hak dan kewajiban pemegang izin serta berakhirnya izin.

Bab VI    Pengawasan Dan Pengendalian

Berisi ketentuan tentang pelaksanaan pengawasan dan pengendalian pemanfaatan air tanah yang dilaksanakan secara bersama oleh pemerintah Provinsi dan Kabupaten / Kota.

Bab VII    Pelanggaran

Memuat ketentuan mengenai pelanggaran dalam pemanfaatan air tanah.

Bab VIII    Penyidikan

Berisi ketentuan mengenai pelaksanaan penyidikan terhadap pelanggaran dalam pemanfaatan air tanah.

Bab IX    Ketentuan Pidana

Sanksi pidana terhadap pelanggaran dalam pemanfaatan air tanah.

Bab X    Ketentuan Penutup


 


 

  1. PENGELOLAAN AIR TANAH

    a. Pengelolaan

    1. Asas Pengelolaan

    Ketersediaan air tanah, berada pada lapisan tanah berupa cekungan air tanah. Cekungan air tanah meliputi daerah-daerah dimana berlangsung kejadian hidrogeologis. Berdasarkan cakupan luasnya, maka cekungan air tanah tidak selalu sama dengan batas administrasi, bahkan pada satu wilayah cekungan air tanah dapat meliputi lebih dari satu daerah administrasi Kabupaten/Kota, maka pengelolaan air tanah pada satu cekungan harus dilakukan secara terpadu yaitu mencakup kawasan pengimbuhan, pengaliran dan pengambilan. Oleh karena itu pengaturannya dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi bersama-sama pemerintah Kabupaten/Kota agar terwujud kebijakan yang utuh dan terpadu dalam satu wilayah cekungan air tanah.


 

2. Kegiatan Pengelolaan.

Pada prinsipnya kegiatan pengelolaan air tanah terbagi dalam kegiatan inventarisasi, konservasi dan pendayagunaan air tanah.


 

Inventarisasi dimaksudkan untuk mengetahui kondisi potensi air tanah pada setiap cekungan air tanah serta untuk mengetahui kondisi pengambilan air tanah diseluruh cekungan tersebut.


 

Konservasi bertujuan untuk melakukan perlindungan terhadap seluruh tatanan hidrologis air tanah serta melakukan kegiatan pemantauan muka air tanah serta pemulihan terhadap wilayah cekungan yang sudah dinyatakan rawan atau kritis.


 

Perencanaan pendayagunaan bertujuan untuk melaksanakan perencanaan terhadap pengambilan air tanah, pemanfaatan lahan di daerah resapan, daerah pengaliran dan daerah pengambilan.


 

Pengawasan dan pengendalian bertujuan untuk mengawasi dan mengendalikan terhadap kegiatan dan pengambilan air tanah, baik dari aspek teknis maupun kualitas dan kuantitas.


 

3. Perizinan

Perizinan pengambilan air tanah merupakan salah satu alat pengendali dalam pengelolaan air tanah. Pemberian perizinan pengambilan air tanah dikeluarkan oleh Bupati/Walikota. Agar pelaksanaan pengelolaan berlangsung secara terpadu dalam suatu cekungan air tanah yang meliputi lebih dari satu Wilayah Kabupaten/Kota, maka perlu ditetapkan kebijakan yang sama. Dalam hal izin pengambilan air diberikan oleh Bupati/Walikota setelah mempertimbangkan persyaratan / rekomendasi teknis dari Pemerintah Provinsi.


 

Sesuai dengan fungsinya, maka izin pengambilan air tanah merupakan dasar ditetapkannya pajak pengambilan air tanah.


 

4. Pelaksanaan

Pelaksanaan kegiatan pengambilan air tanah dilaksanakan secara terkoordinasi antara pemerintah Provinsi dan pemerintah Kabupaten/Kota. Sepanjang menyangkut hal-hal yang bersifat teknis pemerintah Provinsi memberikan dukungan dan fasilitas, sebagai dasar pelaksanaan pengelolaan administratif oleh penerintah Kabupaten/Kota.

RAPERDA PENGELOLAAN AIRTANAH

SURAT EDARAN No. 065/478/ORG

Sehubungan telah ditetapkannya kelembagaan perangkat daerah lingkup Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat melalui Peraturan Daerah dan Peraturan Gubemur Nusa Tenggara Barat masing-masing Nomor 6 Tahun 2008 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat, Nomor 7 Tahun 2008 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Dinas Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat, dan Nomor 8 Tahun 2008 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Inspektorat, Bappeda dan Lembaga Teknis Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat, serta Peraturan Gubernur Nusa Tenggara Barat Nomor 23 Tahun 2008 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Dinas pada Dinas Daerah dan Unit Pelaksana Teknis Badan pada Lembaga Teknis Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat.

    Perubahan kelembagaan perangkat daerah tersebut, adalah dalam rangka perbaikan kinerja pemerintah daerah yang diharapkan bermuara pada terwujudnya pelayanan yang semakin baik kepada masyarakat dan peningkatan daya saing daerah.

    Memahami betapa pentingnya perbaikan proses kinerja pemerintah khususnya dalam tiap-tiap organisasi perangkat daerah yang ditunjukkan melalui penyelenggaraan pemerintahan yang efektifdan efisien, maka dibutuhkan standarisasi dalam setiap penyelesaian pekerjaan sesuai tupoksi pada masing-masing SKPD yaitu prosedur tetap atau Standard Operating Procedures (SOP) sebagai panduan pegawai dalam bekerja.

    Penerapan SOP adalah sebagai salah satu upaya meningkatkan kualitas pelayanan publik tersebut, sejalan dengan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2005 Tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi yaitu: "Meningkatkan kualitas pelayanan kepada publik baik dalam bentuk jasa ataupun perijinan melalui transparansi dan standarisasi pelayanan yang meliputi persyaratan-persyaratan, target waktu penyelesaian dan tarif biaya yang harus dibayar oleh masyarakat untuk mendapat pelayanan tersebut sesuai peraturan perundang-undangan dan menghapuskan pungutan-pungutan liar"

    Berkenaan dengan hal tersebut, dengan ini diminta perhatian saudara terhadap hal-hal sebagai berikut:

  1. Keberadaan SOP memiliki peran penting dalam pengelolaan organisasi perangkat daerah, tidak saja dalam rangka meningkatkan efesiensi dan efektivitas tetapi juga mendukung penyelenggaraan atau pelaksananan standar pelayanan untuk mencapai kepuasan masyarakat (publik).
  2. SOP adalah pedoman atau petunjuk prosedural bagi seluruh pegawai dilingkungan SKPD masing-masing dalam proses pemberian pelayanan, sehingga semua jenis pelayanan yang akan diberikan dapat berjalan lancar dan terukur.
  3. Seluruh SKPD agar segera menyusun SOP sesuai bidang dan jenis pelayanan yang diberikan.
  4. Batas waktu penyusunan SOP selambat-lambatnya 20 Desember 2008, dengan menggunakan format pilihan la, lb,lc, dan Id atau 2, terlampir.
  5. Pemilihan format sesuai kebutuhan serta karakteristik tugas, dan penerapan SOP sebagai pedoman di dalam pelaksanaan tupoksi ditetapkan melalui keputusan kepala SKPD.

SOP yang telah ditetapkan 1 (satu) eksemplar agar dikirim pada Biro Organisasi Setda Provinsi Nusa Tenggara Barat melalui Bagian Tata Laksana, sebagai bahan pengendalian dan pengembangan sistem kinerja organisasi.

POTENSI GEOWISATA NUSA TENGGARA BARAT

ABSTRAK

Provinsi Nusa Tenggara Barat terdiri dari dua pulau besar yaitu, Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa. Keduanya merupakan daerah yang memiliki sumber daya geologi sangat potensial untuk dikembangkan menjadi salah satu tujuan geowisata tingkat internasional. Hal ini ditunjukkan dengan keberadaan sumber daya geologi berupa fenomena alam geologi yang indah, unik, langka dan benilai tinggi yang merupakan dasar utama untuk pengembangan geowisata. Fenomena alam geologi tersebut yaitu memiliki keindahan bentang alam di permukaan diantaranya (morfologi G. Rinjani, G. Tambora, dan G. Sangeangapi), singkapan berbagai jenis batuan dan mineral langka (batu apung, tambang batu hijau), singkapan batuan berfosil langka (Kima raksasa di Nangamiro), dan fenomena alam spektakuler lainnya di bawah permukaan antara lain berupa stalaktit, stalagmit, dan situs akibat letusan Gunung Tambora 1815 yang keseluruhannya dapat merupakan wisata alternatif.

Wisata alternatif mempunyai pengertian ganda, yaitu: pertama sebagai salah satu bentuk kepariwisataan yang timbul sebagai reaksi terhadap dampak negatif pengembangan wisata konvensional; kedua sebagai bentuk kepariwisataan berbeda yang merupakan pilihan pengganti pariwisata konvensional dengan memanfaatkan kegiatan pertambangan dan reklamasinya yang dapat mengurangi kerusakan lingkungan.

Untuk pengembangan geowisata perlu memperhatikan antara lain terhadap: nilai dan mutu produk geowisata, citra wilayah sebagai daerah tujuan wisata yang aman dan nyaman, kualitas sumber daya manusia, mutu produksi lintas-sektoral, kesadaran wisata masyarakat, teknik pemasaran, promosi dan hubungan masyarakat, kegiatan kesenian, serta pengaturan bagi para pengusaha industri pariwisata.

Selain memanfaatkan fenomena alam geologi, kegiatan geowisata di kawasan wilayah tambang yang sedang beroperasi adalah merupakan paradigma baru dalam pengembangan obyek wisata saat ini. Dengan memamfaatkan fenomena alam geologi dan pertambangan yang berwawasan lingkungan, diharapkan dalam masa mendatang Nusa Tenggara Barat dapat merupakan salah satu model pemanfaatan sumber daya geologi dan kegiatan pertambangan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Minggu, 01 Maret 2009

HARI JADI PERTAMBANGAN DAN ENERGI

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro, Jumat (10/10) bertindak sebagai Pembina dalam Apel Hari Jadi Pertambangan dan Energi di Badan Geologi Departemen ESDM, Bandung. Hari Jadi Pertambangan dan Energi di tetapkan dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2008 tentang Hari Jadi Pertambangan dan Energi yang jatuh pada tanggal 28 September. Apel Hari Jadi Pertambangan dan Energi ini diikuti oleh pejabat dan karyawan di lingkungan Departemen ESDM, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Sektor ESDM.
Penetapan Hari Jadi Pertambangan dan Energi didasarkan pada peristiwa yang memiliki bobot sejarah yang tinggi dalam lingkup perjuangan bangsa secara nasional. Pada tanggal 28 September 1945 Lembaga Chisitsu Chosajo diambilalih serta diubah nama lembaga menjadi Jawatan Tambang dan Geologi oleh para pemuda pegawai Jawatan Tambang dan Geologi. Hal ini mencerminkan tekad para pemuda Jawatan Tambang dan Geologi dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.
Perjuangan para Pemuda Jawatan Tambang dan Geologi juga memberi makna mendasar dan berpengaruh positif terhadap semangat juang dalam memberi Negara dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.
Penghargaan Dharma Karya Energi Dan Sumber Daya Mineral
Dalam Kesempatan yang sama Menteri ESDM juga memberikan penghargaan Dharma Karya Energi Dan Sumber Daya Mineral tahun 2008 kepada 62 orang karyawan dan pensiunan Pegawai Negeri Sipil (PNS) Departemen ESDM, yang terdiri dari 19 orang penerima penghargaan Dharma Karya Energi dan Sumber Daya Mineral Utama dan 43 orang penerima penghargaan Dharma Karya Energi dan Sumber Daya Mineral Madya.
Pemberian Penghargaan Dharma Karya Energi dan Sumber Daya Mineral tahun 2008 ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 2407 K/74/MEM/2008 tanggal 8 Oktober 2008.
Ke-62 karyawan dan pensiunan PNS Departemen ESDM penerima penghargaan tersebut dinilai sangat berjasa dalam pemikiran dan atau kebijaksanaan, keputusan, tindakan, pembangunan serta penemuan baru yang memberikan dampak kemajuan yang sangat berarti dalam pembangunan energi dan sumber daya mineral. Selain itu, pemberian penghargaan juga dinilai penting untuk menjadi teladan bagi orang lain.

Kepala Biro Hukum dan Humas
Dep. Energi dan Sumber Daya Mineral



Sutisna Prawira


[sumber:www.esdm.go.id: siaran pers No. 54 /HUMAS DESDM/2008, tanggal : 10 Oktober 2008]