Kamis, 16 Juli 2009

SOSIALISASI KEGIATAN USAHA PENGOLAHAN MIGAS SERTA MUTU BBM, BBG DAN LPG

Mataram, 16 Juli 2009

Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Departemen Energi dan sumber daya Mineral, difasilitasi Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi NTB menggelar acara Sosiaisasi Kegiatan Usaha Pengolahan Migas serta Mutu BBM, BBG dan LPG. Acara dilaksanakan di Hotel Jayakarta, Jl. Raya Senggigi pada 16 Juli 2009. Acara dibuka oleh Ir. M. Hidayat – Ka Subdit Pengolahan Migas, Ditjen Migas – DESDM.

Adapun agenda sosialisasi yang dibawakan oleh 4 (empat) pemakalah antara lain:
1. Kebijakan Pemerintah di Sektor Hilir Migas dibawakan oleh Ir. M. Hidayat (Ditjen Migas)
2. Sepintas Pengelolaan Distribusi Migas di wilayah Nusa Tenggara oleh Pertamina Unit Bali dan NTB;
3. Kebijakan Pengawasan Distribusi dan mutu BBM, BBG dan LPG oleh .....
4. Kebijakan ....

Sosialisasi dilaksankan melalui pemaparan makalah dan diskusi panel yang dimoderatori oleh Kepala Bidang Energi, Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi NTB, Ir. Didik Agus Winarno.


Dari pertemuan tersebut dapat dipaparkankan beberapa hal antara lain:
1. Sosialisasi ini didasarkan pada UU 22 tahun 2001 tentang Migas, UU 30 tahun 2007 tentang Energi dan PP 36 tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak Dan Gas Bumi yang di-Braekdown menjadi Kebijakan hulu (Petrolium Policy) dan Kebijakan Hilir (Fuels Policy);
2. Trend produksi minyak mentah Indonesia cenderung menurun, sampai dengan akhir 2008 Indonesia hanya menolah 60% produk minyak mentah dalam negeri, dan 40% lainnya diimpor untuk memenuhi pasokan kilang pengolah minyak bumi dalam negeri. Hal ini tentunya berakibat gangguan terhadap Reserve Oil Production, sehingga Pemerintah beupaya untuk mendorong penemuan sumber-sumber minyak serta wilayah kerja baru;
3. Jaminan pasokan bahan baku minyak mentah dalam negeri yang terbatas berpengaruh besar terhadap kebijakan makro, dimana demand saat ini tinggi, sementara di sisi Supply sangat terbatas, sementara produksi lifting minyak bumi menurun sehingga pemerintah kewalahan untuk memenuhi kabutuhan bahan minyak mentah untuk industri kilang;
4. Hal ini berakibat pada keamanan pasokan energi (Security Oil Supply) menjadi terganggu dan berbuntut pada Ketahanan Energi yang rapuh;
5. Terkait kebijakan konversi Minyak tanah ke LPG, beberapa hal yang melatar belakanginya:
a. Beban pemerintah atas susbsidi yang sangat besar yang menyebabkan dilakukannya paket kebijakan konversi;
b. Minyak Tanah diupgrade menjadi avtur dan didowngrade menjadi solar yang juga turut berperan dalam kelangkaan minyak tanah secara nasional;
c. Road map konversi Minyak Tanah ke LPG di NTB dijadwalkan 2010 atau paling terlambat 2011, karena berdasar peraturan perundangan yang berlaku, telah terjadi 3 kali percepatan yakni tahun 2015, turun lagi menjadi 2012 dan terakhir 2010;
d. Metoda konversi diterapkan dengan menurunkan subsidi secara bertahap, sehingga terjadi keseimbangan ekonomi baik dari sisi demand maupun supply;
6. Security Oil Supply diupayakan untuk terus dipertahankan dengan menurunkan kebijakan Mandatory Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (BBN), yang sudah mulai diimplementasikan. Namun kenyataan di lapangan banyak regulai-regulasi terkait yang belum disiapkan serta kesiapan daerah yang belum optimal;
7. Kebijakan harga bahan baku Industri BBN masih menjadi kendala;
8. Kebijakan integrasi antara ketahanan pangan dan ketahanan energi belum sejalan, contohnya: CVO Nabati disatu sisi bila diekspor memiliki nilai jual yang cukup tinggi sehingga bisa mendatangkan devisa bagi negara, namun disatu sisi supply bahan baku BBN akan menjadi langka, hal ini tentu berakibat pada goyahnya ketahanan energi;
9. Terakit kebijakan pengawasan distribusi, mutu BBM, BBG dan LPG khususnya di daerah, pemerintah perlu memikirkan kesiapan aparatur di daerah untuk dapat membantu implementasi perlindungan konsumen terhadap produk nasional, dengan meningkatkan kapasitas sumberdaya aparatur pengawasan melalui diklat teknis pengawasan migas;
10. Dalam investasi pengembangan usaha hilir minyak bumi, diperlukan satu instrumen regulasi dari pemerintah pusat yang teritegrasi serta berlaku menyeluruh sehingga tidak menghambat arus investasi di daerah, dan direkomendasikan kepada Pemda untuk tidak mempersulit investor dengan segala macam aturan yang memberatkan, dan sebaiknya memberikan kemudahan dengan membantu memfasilitasi investor guna mempercepat realisasi investasi yang berguna bagi kemajuan daerah itu sendiri.

Demikian beberapa hal yang bisa dipaparkan [Iqbal 2009]